Penulis Horor Joe Hill tentang AI: Ancaman yang Meningkat terhadap Seni dan Kebenaran

19
Penulis Horor Joe Hill tentang AI: Ancaman yang Meningkat terhadap Seni dan Kebenaran

Penulis horor Joe Hill mengungkapkan kegelisahannya yang mendalam terhadap pesatnya perkembangan kecerdasan buatan, khususnya potensinya mengikis kepercayaan terhadap media dan merendahkan kreativitas manusia. Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, Hill menggambarkan AI sebagai “bagian dari kebusukan umum” – sebuah gejala dari kekuatan perusahaan yang tidak terkendali dan kemajuan teknologi yang sembrono.

Kekhawatiran Hill melampaui fiksi spekulatif; novel barunya, King Sorrow, memuat kritik terhadap media sosial dan oligarki teknologi, termasuk Elon Musk, yang mencerminkan ketidakpercayaan yang lebih luas terhadap pengaruh teknologi yang tidak diatur. Dia berpendapat bahwa miliarder seperti Musk beroperasi di luar batas hukum, membentuk peraturan yang sesuai dengan kepentingan mereka dan bukannya melayani kepentingan publik.

Penulis sangat kritis terhadap alat pembuatan video Sora OpenAI, yang memungkinkan pembuatan video buatan AI yang hiperrealistis. Dia memperingatkan bahwa Sora pasti akan membanjiri internet dengan informasi yang salah, terutama selama pemilu, dengan sedikit pertanggungjawaban dari penciptanya. Hill menunjukkan bahwa para eksekutif OpenAI, seperti Sam Altman, tampaknya tidak peduli dengan konsekuensinya, dan mengharapkan masyarakat untuk beradaptasi dengan kenyataan yang dipenuhi dengan deepfake.

Skeptisisme ini sejalan dengan meningkatnya resistensi di kalangan industri kreatif. Penulis, termasuk Stephen King (ayah Hill), menggugat OpenAI atas pelanggaran hak cipta, sementara studio animasi dan penerbit video game menuntut Sora 2 menghentikan pelatihan konten mereka. Hill mencatat bahwa seluruh industri AI dibangun di atas “menara pencurian”, merujuk pada meluasnya penggunaan data yang diambil secara ilegal untuk melatih algoritme.

Ia percaya bahwa meskipun AI dapat mengotomatiskan tugas-tugas tertentu, AI tidak akan pernah menggantikan nilai ekspresi manusia yang sebenarnya. “Akan selalu ada pasar bagi manusia untuk mengekspresikan diri mereka kepada manusia lain melalui hasil kerja keras mereka,” kata Hill. Inti dari seni terletak pada perjuangan, emosi, dan niat—elemen yang hanya bisa ditiru oleh AI, bukan ditiru.

Pada akhirnya, Hill memandang AI dalam bentuknya saat ini sebagai pelengkapan otomatis yang canggih, mampu menghasilkan konten yang masuk akal namun kurang orisinalitas. Kekhawatirannya menggarisbawahi perdebatan yang lebih luas mengenai implikasi etika dan sosial dari pertumbuhan teknologi yang tidak terkendali, dan kebutuhan mendesak akan pembangunan dan regulasi yang bertanggung jawab.